Dieng: Perjalanan Minim Ekspektasi (1)
‘Ekspektasi’ jadi kata yang lekat dengan hidup saya. Saya
orang yang hobi ber-ekspektasi, atau lebih tepatnya: memikirkan ke depan dan
sibuk mempersiapkan. Karena itu, kata ‘minim ekspektasi’ jadi hal baru. Seperti
perjalanan ke Dieng ini, yang jadi cerita tanpa perkiraan dan persiapan yang
benar siap. Jalan aja, dan nikmati.
Perjalanan ke Dieng baru direncanakan 1,5 jam sebelum
berangkat. Miskin pengetahuan akan Jogja, tiba-tiba tercetus ide: “Kita ke
Dieng yuk! Kita nginep di sana!”, kata saya ke Esti, teman perjalanan. Tahu
jalan? Enggak. Tahu naik apa? Enggak. Semuanya hasil tanya-tanya teman, petugas
Dishub, kenek, dan orang yang kita temui.
Beres check out dan nyoto ayam di daerah Malioboro, kita
naik bus TransJogja jurusan terminal Jombor, yang harus transit dulu di RS PKU.
Lanjut lagi naik bus kecil ke terminal Magelang, yang makan waktu sekitar 1
jam. Dari sini, lanjut ngebus ke Wonosobo selama 2 jam. Tiba di Wonosobo, lalu
naik bus sekitar 20 menit ke arah Kauman, Wonosobo. Perjalanan terakhir, naik
bus ukuran sedang sekitar 1,5 jam. Total 6 jam perjalanan, dan 6 kali ganti
bus.
Takut? Sedikit. Kita berdua cewek-cewek dengan bawaan banyak
–hasil belanjaan di Malioboro dan pasar Beringharjo yang bikin kalap itu lhooo- yang sama sekali nggak
tahu jalan. Gara-gara grogi, sepanjang 6 jam itu saya cuma tidur sebentar
banget. Nggak mau salah ataupun kelewatan, kan kita newbie, manis dan unyu *oh,
lupakan*. Tapi mostly, saya begitu menikmati perjalanan. Banyak orang baik,
pemandangan maha indah, dan kisah seru. Tentu yang paling berkesan adalah saat
naik angkutan terakhir yang ke Dieng. Jalanan menanjak berkelok, kabut
menghalangi pandangan (bahkan jarak pandang nggak lebih dari 5 meter!), udara
dingin menusuk, dan kehangatan para penumpang warga lokal, yang bawa banyak
muatan seperti kerupuk, umbi-umbian, bahkan dus dan buah nangka dan sikap
solider plus saling tolong. Agak ngantuk, tapi rasanya kesan-kesan itu begitu
sayang untuk dibarter dengan tidur barang sejenak.
Setelah 6 jam perjalanan Jogja-Dieng, akhirnya sampai juga
di pertigaan Dieng, yang membelah Dieng Wetan dan Dieng Kulon tempat saya harus
berhenti. Rasanya.... wow! Kesan senang begitu membuncah dan meluap lihat
ladang di sejauh mata memandang, dengan latar siluet gunung berkabut. Pandangan
saya dipenuhi dengan hamparan pemandangan yang lunas membayar cerita 6 jam di
jalan. “Subhanallah...” syukur saya dalam hati. Dan akhirnya Flora sampai di
Dieng! Uhui!
Beres taro tas di penginapan yang super nyaman (Dieng Pass,
085291250520, Rp. 200.000 untuk 2 double bed empuk plus TV kabel, lantai
berkarpet dan kamar mandi dengan air panas), kami, bertiga dengan sepupu saya
yang udah duluan disana, langsung menuju komplek candi Arjuna yang terdiri dari
candi Arjuna, Semar, Sembadra, Srikandi dan Puntadewa yang semuanya bisa
ditempuh dengan jalan kaki dari penginapan. Di sini ada satu kompleks candi
yang dikelilingi oleh kebun bawang dan kentang. Bunga terompet, pohon cemara
dan aneka dedaunan tumbuh cantik. Sayang, banyak sampah dan coretan di beberapa
sudut. Padahal, tanpa tulisan “Gatot love Ayu” “Mira cinta kamu 4ever” atau
“Genk XMU 5 WNSB cuantik tenan”, tentu objek wisata ini akan jadi lebih
terawat. Waduh, mas, mbak, dik, kalian segitu kurang kerjaan-nya kah?
Lucunya, Dieng merupakan perbatasan langsung antara Wonosobo
dan Banjarnegara, jadi beberapa obyek wisata letaknya di Banjar, dan selebihnya
di Wonosobo, namun tetap di satu area. Perjalanan
sebenarnya baru akan dimulai besok paginya. Destinasi puncak Sikunir, kawah
Sikidang, telaga warna, juga satu bukit dengan pemandangan maha dahsyat di
dekat Dieng Plateau Theatre akan ditempuh dengan menggunakan jasa ojek, yang
disepakati harganya Rp. 50.000/orang. Lagi-lagi, terima kasih atas jasa
Samiaji, temen SMP saya yang mau bantu cari abang ojek yang seru dan baik.
Selanjutnya, si bapak ojek bernama pak Suyoto ini jadi bagian dari perjalanan seru
kami. Plus cerita soal kamera yang
tiba-tiba nggak bisa dipakai dan saya yang sempat sesak nafas di tengah
perjalanan ke puncak bukit. Hihiww!!! Baca post selanjutnya ya! *bakal lanjut 6
season, kayak Cinta Fitri*
Ini dia carica, buah khas Dieng. Rasa dan teksturnya persis buah pepaya, tapi dengan bentuk dan tampilan berbeda. Biasanya dijual dalam bentuk buah utuh, dijadiin manisan, juga selai.
Yang ini adalah cabai gendot atau cabai Dieng. Satu renceng ini beratnya sekitar 1/4 kg, harganya Rp. 2.500. Rasanya? Pedesssshhh banget! Awet lho dibawa perjalanan 12 jam ke rumah, dan sukses membuat mama senang.
Dieng juga begitu terkenal dengan kentang-nya. Kentang Dieng terkenal berkualitas tinggi dan nggak gampang rusak. Selain kentang coklat/merah/ungu utuh, keripik kentang mentah dan kentang goreng juga banyak dijual di sini!
Komentar