Sebuah tulisan di situs Kompa**ana
sempat membuat saya menganggukkan kepala tanda setuju, tapi juga miris. Si
penulis adalah pengguna layanan kereta api Jabodetabek. Ia mengungkap jika kalau
waktunya dan keluarga jadi berkurang karena setiap hari ia harus cari nafkah di
ibukota dan meninggalkan rumahnya di kawasan Tangerang. Tapi yang bikin alis
naik, sang penulis mendakwa kalau pihak kereta apilah yang jadi dalang dan
penyebab utama kondisi ini. Kereta yang terlambat, penuh, berdesakan, armada
yang kurang, semua membuat waktunya habis. Dan si penulis berujar kalau ia
sudah cukup sabar menghadapi kondisi ini setiap hari. Mungkin kesabarannya kian
tipis. Dan KRL jadi sumber penyebab.
Timeline Twitter tentang kinerja kereta
api Jabodetabek juga tak pernah senyap. Sebuah akun komunitas penumpang KRL
sering me-retweet keluhan penumpangnya. Mulai dari AC mati, kondisi berdesakan
layaknya ‘pepes’, kereta yang terlambat, sampai yang ekstrim (menurut saya),
mencaci maki Direktur PT KAI, Ignatius Jonan sebagai pangkal ketidaknyamanan
kereta api. Dari yang tak kenal nama ‘Jonan’, sampai akhirnya terbiasa melihat
namanya berseliweran di timeline hasil retweet akun tersebut.
--

Kondisi-kondisi
ini jelas jauh dari nyaman.
Tapi
bukankah kita selalu punya pilihan?
Ada
patas, TransJakarta, ojeg, taksi, omprengan.
Patas
dengan resiko banyak pengamen, ruang berdiri yang lebih sedikit, kernet yang
lewat di tengah kerumunan untuk tarik ongkos (dan itu sangat nggak nyaman!),
macet, copet, dan lainnya.
TransJakarta
yang di jam-jam sibuk antreannya mengular. Harganya ekonomis, punya jalur
sendiri dan tanpa pengamen.
Taksi
yang mahal, dan ojeg yang seringnya lebih mahal dari taksi.
Dan
buat yang punya kendaraan pribadi, tentu naik motor atau mobil sendiri juga
bisa jadi pilihan.
Lalu kenapa masih setia naik kereta? Ini
bukan tentang nggak punya pilihan. Kita jelas punya banyak pilihan, dan memilih
kereta api! Jadi kalau merasa ada transportasi lain yang lebih manusiawi, cocok
dengan kantong dan memenuhi ekspektasi-ekspektasi lain, kenapa harus naik
kereta api? Pada akhirnya kitapun mengakui kalau kereta api lebih cepat, murah
dan (setidaknya) lebih bisa diandalkan. Dibanding patas, kopaja, metro mini,
ojeg dan transportasi umum lainnya, kereta api juga yang paling akrab dengan
media, khususnya di media sosial termasuk dengan segala caci maki dan keluhan.
Tapi di balik itu, di dua tahun ini PT KAI mendapat banyak award bergengsi,
lho! Tentu prestasi ini bukan diberikan asal dan tanpa sebab kan?
Kereta jam 14.15. Jauuuhhh banget dari kondisi kereta pagi.
Sebagai konsumen, tentu saya kepingin
betul kereta Jabodetabek dipersering jadwalnya dan tepat waktu. Kerusakan dan
gangguan sinyal diminimalisir. Armadanya diremajakan. Dibuat agar kereta lebih
nyaman buat lansia, ibu hamil dan penyandang cacat. Stasiun dibuat lebih layak
dan bersih (plus peronnya lebih layak dan turun/naiknya nggak usah pake loncat
di St. Manggarai!). Tapi menurut saya mengutuk-ngutuk pak direktur dan marah
membabi buta ke manajemennya bukan solusi sih. Bikin badan dan kepala makin
capek. Jadi naik kereta iya, tapi marah-marah juga iya. Piye tho?
Agaknya perubahan-perubahan sistem
angkutan kereta api juga yang membuat konsumen jadi ‘kaget’ dan imbasnya jadi
lebih sensitif karena keluar dari ‘area kebiasaan’. Dari yang dulu ada kereta
kelas ekspres, AC ekonomi dan ekonomi, sekarang mengerucut jadi 1 jenis saja. Dulu
pakai sistem karcis yang dilubangi, sekarang pakai sistem kartu elektronik. Dulu
cenderung berdesakan, sekarang antrian ‘dipaksa’ tertib. Intinya, sekarang
banyak berubah, dan belum seluruh konsumen KRL siap dengan perubahan.
Saya bukan bagian dari manajemen PT KAI.
Saya sama sekali nggak kenal secara personal dengan pak Jonan yang ngetop di
media sosial itu. Tapi yang jelas saya tahu kalau perubahan pasti dimulai
dengan ide dasar membuat sesuatu jadi naik kelas. Perubahanpun bisa sesimpel
kamar mandi stasiun yang memang belum bisa dibilang baik, tapi kini sudah
layak. Perubahan begitu kentara ketika dari yang berdesakan, kini saya dan
ribuan orang lain harus antri tertib saat masuk dan keluar stasiun. Dari contoh
‘kecil’ itu, kita tahu kalau PT KAI sedang terus berbenah.
Sampai akhirnya asumsi saya terjawab
saat membaca ‘Jonan & Evolusi Kereta Api Indonesia’. Ternyata memang mereka
berubah. Berevolusi. Internalnya makin maju, dan alasan kemajuan ini adalah faktor
pelayanan ke konsumen (eksternal) yang dibenahi. Yang saya simpulkan dari buku
ini adalah pak direktur orang galak dan tegas. Dua sifat yang belum tentu
disukai semua orang, malah cenderung membuat orang jaga jarak. Namun intinya,
pak Jonan serius membenahi perkeretaapian. Termasuk kereta Jabodetabek. Meski
sebagai konsumen, menurut saya memang masih terasa kurang di banyak hal. Tapi
kita juga harus lebih rasional. Demi perbaikan, kita harus dukung perubahan dan
lebih optimis!
Komentar