Office Flirting dan Kecenderungan Untuk Ganjen
By Flora Febrianindya - Januari 12, 2014
Tempo hari, saya ngobrol bareng beberapa teman
perempuan. Topiknya nggak jauh-jauh dari soal asmara dan kerjaan, yang akhirnya
bermuara pada cerita masing-masing tentang ‘asmara di kerjaan’. Benang merahnya
adalah, pria yang punya jabatan yang sudah aman dan mapan, dengan usia sekitar
late thirty, sudah punya anak usia sekolah, cenderung “suka tantangan”, lebih
ganjen dan bermulut bahaya. Apa tuh maksudnya ‘bermulut bahaya’? Bisa diartikan
sebagai celetukan-celetukan semacam kode, yang sebenernya dianggap lucu, seru,
segar, tapi substansinya agak ngeri, yaitu perselingkuhan. Biasanya dilontarkan
pada orang-orang deket, misalnya sama tim sendiri, teman satu lini, ataupun
geng makan siang bareng.
“Ahh, itu sih obrolan standar. Kadang-kadang mulut orang di
kantor itu kejam-kejam. Gara-gara stress di kantor kali ya,” kata si A.
Bahkan B cerita, bos nya secara terang-terangan punya beberapa ‘cem-ceman’.
Cewek-cewek 'terpilih' ini sering disamperin, digodain, dan diiming-imingi. Ada yang
menanggapi dengan santai dan senyum-senyum aja tanpa menanggapi serius, ada
juga yang ikut ketawa-ketawa ganjen digituin bosnya. “Sialan banget itu
laki-laki. Kantor istrinya Cuma beda 2 lantai, lho!”, kata B berapi-api.
Hal ini (sayangnya sudah) dianggap biasa. Becandaan nakal soal orang ketiga udah kayak bumbu
standar di lingkungan kantoran. Kalau dulu saya menangkap, biasanya model
bercandaan begini ya di lingkungan satu gender yang seusia dan sangat akrab, nah kalau di
kantor, lingkupnya jadi jauh lebih luas dan nggak segan dilontarkan di kelompok
dengan usia bervariasi. Awal-awal, saya ngerasa terganggu banget. Sampai pada
akhirnya saya menyimpulkan kalau sikap ganjen itu bukan lagi sesuatu yang
ngagetin di kantor. *sigh
Hmm, sebuah penelitian di Inggris sih menyimpulkan, kalau ganjen-ganjenan di kantor itu nggak usah dianggap serius. Biasanya pria di kantor berperilaku begitu untuk meningkatkan kepercayaan diri, ataupun sebagai hiburan dan pelarian dari rasa stress. Ganjen juga seringkali jadi cara untuk mengakrabkan diri dan tidak serta-merta bisa dihubungkan dengan sesuatu yang lebih serius, misalnya perselingkuhan. Tapi yaaa… sebagai cewek, sebel juga kali yahh kalau pasangannya ganjen di kantor :(
--
Selain ‘ganjen’, ada juga fenomena lain. Yaitu, naksir.
Bedanya ‘ditaksir’, adalah biasanya caranya lebih smooth.
Kalau ‘ganjen’ diasosiasikan dengan cara-cara mendekati dengan cara kotor dan
frontal, naksir justru lebih halus dan pakai hati. Enggak pakai rayuan basi,
tapi lebih ke perhatian-perhatian dan ngasih hal kecil yang kadang-kadang nggak
kepikiran, ataupun mengatasnamakan pekerjaan.
“Padahal dia itu punya sekretaris. Tapi kemana-mana, gue
yang disuruh ngedampingin. Gue bahkan pernah dimarahin gara-gara gak bawa
handphone ke ruangan sebelah dan enggak ada kabar. Gila yah, ini bos posesifnya
ngelebihin pacar!” curhat A.
C pun cerita pengalaman di kantornya.
“Sering tuh, tiba-tiba OB nganterin makanan ke meja gue dan
nggak mau ngasih tau siapa yang bawain. Tapi tiba-tiba ada Yahoo Messenger,
isinya ‘soto nya enak, kan?’. Atau tiba-tiba udah nungguin gue di parkiran mal
tempat gue meeting. Alasannya sih dia juga ada urusan di mal yang sama. Waktu
dia abis liburan ke Thailand, dia nitipin oleh-oleh satu tas di resepsionis. Atau
pernah juga, tau-tau dia nelfon udah deket rumah gue dan minta ditemenin ngopi”,
jelas C.
“Eh gila yah, kalo yang begitu cowok single, gue udah klepek-klepek
kali. Tapi kalo kasusnya begini, yang ada gue malah jantungan, merinding, ngebayangin
muka anak istrinya. Sikap gue padahal udah se-wajar mungkin, tapi kadang
kerjaan memang bikin kita jadi sering bareng. Duh, tipis ya bedanya akrab sama
ngasih kesempatan,” tambah B.
Hmm, saya jadi inget sebuah film, judulnya Talhotblond. Gak
persis sih, tapi lumayan bisa menjelaskan. Diangkat dari kisah nyata, menceritakan tentang Thomas Montgomery, family
man usia 47 tahun yang punya dua anak perempuan usia remaja dan seorang istri.
Di tahun ke 17 pernikahannya, hidupnya terasa flat, kurang greget, nggak ada
lagi perasaan yang meletup-letup. Semuanya terasa datar. Ia mulai bosan.
Sampai suatu hari, Thomas chatting dengan seorang cewek yang
tinggal di kota berbeda. Usia si cewek (Jessi) 18 tahun, dan saat chatting,
Thomas mengaku usianya 21 tahun dan seorang tentara di kawasan perang. Obrolan
mereka di dunia maya berlangsung intens sampai 1 tahun, dan Thomas betul-betul
pakai hati dan begitu menganggap Jessi bagian dari hidupnya.
Thomas merasa hidupnya kembali bergairah, merasa kembali ada
percikan cinta, hati yang bergejolak, rasa kangen yang amat sangat setiap kali
kontak dengan Jessi. Thomas merasa jadi ‘cowok banget’, kembali berdebar-debar,
begitu dihargai, cinta keduanya (terasa) begitu kuat. Ada adrenalin rush, meski
semuanya sebatas asmara di telepon dan chatting di internet.
Mungkin itu bisa menggambarkan, kenapa pria di usia matang
dan mapan sering diistilahkan punya fase ‘puber kedua’. Ada sesuatu yang
hilang, hidup terasa datar dengan rutinitas, kurang greget. Dan selain rumah,
kantor adalah tempat ke dua di mana kita menghabiskan sebagian waktu dan hidup.
--
“Naudzubillahimindzalik deh kalau suami gue nantinya bakal
kayak gitu. Semoga gue dapet jodoh yang omongan dan hati nya terjaga ya….”,
kata C.
“Jangan lupa, jaga badan, jaga otak juga. Jangan sampe kita
sibuk ngurus anak jadi kurang pergaulan, penampilan gak menarik, gak update,
gak bisa diajak diskusi dan malah jadi cewek yang membosankan. Ini PR banget
nih buat kita-kita perempuan,” jelas B.
Lalu A nyeletuk. “Terus, kalo kita udah kece luar dalem, eh
suami nya tetep gatel, mulut sama kelakuannya nggak dijaga di luaran, gimana?”
“Aaaahhh lo gitu aaaah!!! Jangan sampeeee……!”
0 comments