……. Ternyata Kita Lebih Butuh Didengar
Bercerita adalah bagian dari penyampaian rasa. Kita mencari-cari untuk tahu,
lalu butuh telinga orang lain untuk mau mendengar takjub, kesal, ataupun bunga
bahagia. Pun dengan kalimat tanya di kepala. Selain untuk mencari jawaban,
bercerita dan mengajukan tanya sebetulnya dilakukan sebagai aksi melarikan
diri. Dari apa? Dari gelombang tanya dan emosi yang terus menggelembung di otak
dan hati.
Terjawab? Belum tentu. Bertanya bukan semata untuk
mencari jawaban dari paradigma orang. Pada akhirnya, Kenapa, Bagaimana, dan kok
bisa sih? Akan terjawab dengan alamiah. Bukan dicetuskan dari kepala orang lain,
melainkan kita sendiri yang punya jawaban. Oke, secara lebih rinci, bercerita
membantu kita membuka dan mengurai benang di kepala. Benang itu awalnya terurai
baik, namun akhirnya berputar kusut karena diprovokasi amarah, emosi dan
prasangka buruk.
.
.
Begini mekanismenya. Saat bercerita, kita punya
kewajiban untuk membuat lawan bicara mengerti dan mencerna kalimat kita dengan
baik. Dengan begitu, kita akhirnya membuat pemetaan di kepala, agar cerita yang
disampaikan bisa runut dan tersampaikan jelas. Seiring dengan lontaran kalimat,
akhirnya yang kusutpun terurai, dan berujung pada apa yang kita cari. Korelasi
masalah, sebab akibat, spekulasi yang lebih logis, dan akhirnya: solusi. Lawan
bicarapun sifatnya hanya ‘memfasilitasi’.
.
.
Masalah lain adalah, bagaimana mencari, atau
menjadi pendengar yang baik? Oke. Menurut saya, berhenti berusaha tampak
pintar, ataupun member saran yang sebetulnya kita nggak paham-paham amat
maksudnya bagaimana. Kadang, orang mumet hanya butuh pertanyaan sederhana yang ringan.
Nah, yang ringan dan sederhana itu yang justru sering ‘membangunkan’ seseorang
dari kalut dan bingung nya. Menjadi pendengar yang baik berarti bisa meresapi,
juga memaknai cerita.
Konklusinya: sebetulnya kamu tahu jawaban masalahmu. Hanya nggak mau benar-benar mendengar.
Konklusinya: sebetulnya kamu tahu jawaban masalahmu. Hanya nggak mau benar-benar mendengar.
17 September 2014, Tanjung Enim, Palembang, Sumatera Selatan.
Ditulis oleh seorang perempuan muda, sebut saja ‘Bunga’
Komentar