Karena Curhatan Adalah Doa
.
Ada seorang teman, tidak terlalu akrab, tapi cukup sering
berbagi pikiran. Suatu malam, saya duduk di sampingnya, dan menduduki status
sebagai gadis yang sedang nebeng pulang karena arah rumah searah. Obrolan kita
tak jauh dari rasa tidak aman mengenai Tesis. Kami khawatir akan Tesis yang tak
kunjung selesai dan rasanya mampet. Kami takut kalau harus menghadapi
kemungkinan terburuk, tidak bisa lulus di semester 4. Lebih lanjut lagi, kami
tak bisa membayangkan kalau harus membayar semester 5 yang belasan juta itu,
(hanya) karena ketidakmampuan kami menyelesaikan Tesis tepat waktu (sementara
yang lain bisa).
Beberapa bulan kemudian, kami berdua lulus dan wisuda di
hari yang sama.
Dengan lawan bicara yang sama, sempat juga kami berbagi soal
proyeksi dan keinginan dalam sektor karir. Kami yang masih hijau dan belum
banyak mengenyam pengalaman kerja ngiler dengan banyak teman lain yang tampak
sudah lebih matang karirnya. Apalagi, dinas di luar kota bahkan luar negeri
yang tampaknya begitu menggiurkan. Rasanya wow sekali bisa menjelajah suatu
tempat tanpa keluar biaya, dan mengalokasikan 70% waktu untuk kerja dan sisanya
untuk cari pengalaman baru di wilayah orang.
Beberapa bulan kemudian, saya bekerja di sebuah institusi
yang punya ciri ‘kantoran banget’. Baju rapi, masuk setengah delapan pagi.
Kantor ini mengharuskan saya terbang ke sebuah Kabupaten di Sumatera Selatan.
Lebih lanjut lagi, kini saya intens melakukan perjalanan dinas dengan waktu dan
jarak tempuh yang lumayan menyita waktu dan tenaga. Menghadapi orang-orang ‘lapangan’,
bahkan ikut ‘main-main’ di lapangan. Akhirnya bisa tahu bagaimana ‘rasa’-nya.
Well, karena kalimat adalah doa, bukan?
.
.
Komentar