Terakhir
kali agaknya sudah setahun lalu. Naik pesawat ke Palembang, lalu jalan darat
sekian jam ke Tanjung Enim. Mulai tidur saat di Indralaya, lalu istirahat untuk
makan dan cari toilet di Prabumulih, gak lupa mampir ke Rumah Makan Tahu
Sumedang untuk beli gorengan. Kemudian jalan lagi menuju Muara Enim,
melanjutkan tidur pulas sampai miring-miring. Kalau sudah lewat GOR dan kota
Muara Enim, berarti tak sampai 15 menit lagi kita sampai ke area tambang dan
perumahan Bukit Asam!
Pada
masanya, dalam 1 bulan mungkin ada sekian belas hari yang saya lewati di
Tanjung Enim. Tanjung Enim memang jauuuuh sekali rasanya. Jalanan ke sini
umumnya hanya memiliki dua lajur, tidak terlalu lebar. Jadi siap-siap untuk
dibawa driver melaju kencang dan menyalip mobil di depan dengan kecepatan
tinggi. Yang dihadapi mulai dari mobil pribadi, mobil bahan bakar, hingga truk
muatan batubara yang banyak sekali jumlahnya! Belum lagi motor yang
kecepatannya nggak kira-kira.
Setelah
kira-kira 5 sampai 7 jam perjalanan, sampailah di Tanjung Enim. Memasuki
komplek pertambangan Bukit Asam, jalanannya mulus beraspal, sesekali berbukit.
Melewati masjid besar, GOR, rumah sakit, lalu masuk di pintu gerbang perumahan.
Di bagian depan ada area golf, lalu lurus lagi ada Town Site, atau perumahan
untuk karyawan.
Tempat yang biasanya saya tempati namanya Base Camp, yaitu
tempat menginap tamu atau rekanan tertentu, atau karyawan PTBA dari wilayah
lain. Di depan Base Camp akan melewati pos satpam lagi yang bersebelahan dengan
fasilitas fitness center dan lapangan bola luas. Selanjutnya kami akan ke
kantor pengelola, untuk mengambil kunci. Di sini suka deg-degan, bakal dapet
rumah nomer berapa nih? Hhahaha. Soalnya saking seringnya ke sini, saya sudah
punya preferensi, rumah nomor berapa yang kotor, gak nyaman, atau malah hawa
nya angker. Sampai kemudian pihak pengelola paham kalau saya cenderung memilih
rumah nomor C37 yang dekat dengan jalan besar dan lampunya terang.
Well, sebenarnya mau ditaro di rumah berapapun, sebetulnya saya suka ngerasa takut. Hahaha. Apalagi pengemudi dari Palembang yang membawa kami nggak jarang menghadiahi kami dengan cerita seram dan menyebalkan.
Di
komplek perumahan ini, hidup rasanya lebih tenang. Jalanan super lancar, mulus
tanpa lubang. Anak-anak bebas main dan lari-lari. Mau main sepeda, sepakbola,
futsal, berenang, basket, semuanya tersedia di dekat rumah. Biasanya kalau
pekerjaan selesai di sore hari, saya juga suka jalan-jalan di sekitar kompleks.
Menikmati udara yang segar, jalanan yang lengang, pemandangan rumah yang nggak
rapet dengan sekitarnya dan punya halaman yang cukup asik dan tidak berpagar,
serta pohon yang rindang. Kalau malam,
seringkali saya mendengar dari kamar suara babi ataupun hewan lain yang sedang
lewat di depan.
Urusan
makan, kadang repot, kadang mudah. Mudah karena ada Mess Hall, ruang makan
besar di tengah-tengah komplek. Di sini disediakan makan 3 kali sehari untuk
tamu-tamu. Mau diantar ke rumah dengan box pun bisa, tinggal angkat telepon.
Meskipun mudah, tapi namanya manusia yahh ceuuu, ada aja ngeluhnya. Ya taste
nya kurang pas sama lidah, ya bosen… Kitapun sering makan di luar, dan yang
paling favorit (dan dekat) adalah Rumah Makan Hasan dan Rumah Makan Abeng.
Dua-duanya Chinese food, dan dua-duanya punya daya tarik. Saya pernah tulis dalam postingan tersendiri, tentang enakan mana RM Abeng dan Hasan.
Oh
iya, kalau mau kemana-mana, kita harus pesan mobil dulu di pool nya. Jarak
antara rumah dan Pusdiklat tempat saya ‘ngetem’ saja sekitar 3km, tentu tidak
jalan kaki-able, kecuali niat mau olahraga. Apalagi mau ke area luar PTBA,
misalnya makan atau beli kebutuhan di minimarket. Nah, pesen mobil ini ada
drama sendiri, karena ada operator telepon pool yang baik, ada juga yang galak.
Saya beberapa kali diomelin karena suka dadakan order. Hahaha. Sampe saya
curhat ke seorang pegawai di Pusdiklat, dan kemudian sayapun diajak ‘main’ ke
pool, supaya kenal secara personal dan nggak ‘musuhan’ lagi.
Saat
ke sini di bulan Januari, pas bangeet waktunya dengan musim duren. Oh tentu aja
saya merasa ……….. biasa aja. Ya eyalaah saya kan bukan penyuka duren. Baunya
huiksss. Tapi di sini saya nyobain duren jatohan, dibeli langsung di bawah
pohon. Dari Pusdiklat PTBA masih naiiiik ke atas, nah di sana ada pohon duren.
Bahkan nemu duren yang cakeeeep mulus dan legit banget. Kalau nggak salah,
untuk 1 karung duren, si pemilik pohon menjual dengan harga Rp 100.000.
Sekarung choy!
Dalam
sekian kedatangan ke PTBA Tanjung Enim, saya beberapa kali site visit. Ke BWE
(Bucket Wheele Excavator), ke TLS (Train Loading Station), ke Bengkel Utama, ke
area Stock Pile, ataupun cuma lihat-lihat di anjungan aja. Lokasi-lokasi ini,
berikut tempat tinggal dan segala fasilitasnya berada di dalam satu area
kompleks PTBA. Tiap kali ke sini, yang membawa kami adalah mobil double cabin dengan
bendera di bagian depannya. Terasa beda, seru sekaligus keren, karena mobilnya
tinggi dan selaw-selaw aja ngelewatin kontur jalan yang berbeda.
Well,
ditempatkan di proyek manapun saya berusaha supaya bisa menikmati kondisinya.
Kompleks PTBA memang jauh sekali. Mau ke Bandara saja harus menempuh ratusan
kilometer dengan risiko yang tak terprediksi. Namun selalu ada hal yang bisa
dinikmati, dan ujung-ujungnya kangen ke sana lagi. Hehehe.
-------
-------
Cerita lain tentang Tanjung Enim dan PTBA:
Belanja di pasar, dan main-main ke kolam ikan milik Bukit Asam
Belanja di pasar, dan main-main ke kolam ikan milik Bukit Asam
Komentar
Saya juga nggak punya euy... setahu saya kalau kita adalah tamu/pihak luar, yg memesankan mess di town site adalah satker yang mengundang saya ke PTBA (waktu itu Pusdiklat krn bekerja sama dgn Pusdiklat).