Ujian Sebelum Umroh: Pengalaman Hampir Kena Tipu Biro Umroh Abal-abal
By Flora - Mei 28, 2016
Foto oleh Flora Febrianindya
Harapan dan impian ke tanah suci sekeluarga sudah di depan mata.
Hati tentu berbunga, undangan Allah datang tanpa disangka-sangka, prosesnyapun
cepat. Tapi ternyata rencana awal kami sempat diwarnai drama yang cukup
menguras energi, yaitu: hampir salah memilih biro perjalanan, dan sepanjang prosesnya bukan ketenangan yang didapat, tapi justru kekhawatiran dan curiga. Ini
tentu pelajaran besar untuk saya sekeluarga. Dan semoga bisa jadi pelajaran
juga untuk yang lain…
Note 1: Nama orang, lembaga dan yayasan di sini adalah karangan,
bukan nama sebenarnya. Kalau ada kesamaan, betul-betul tidak ada maksud
negatif.
Note 2: This is gonna be a loooong post….
Setelah orang tua saya menyampaikan jika saya dan adik akan diajak
berangkat Umroh, maka langkah
selanjutnya adalah memilih biro perjalanan yang akan memberangkatkan. Saat itu
saya clueless, karena rasanya belum pernah bikin program berangkat umroh. Ada 2 rekomendasi, yaitu dari ibu saya dan
kakak saya. Keduanya kami datangi. Lalu ibu saya bilang “mama lebih sreg sama
yang pilihan mama deh kayaknya…”.
Sebutlah namanya yayasan Jauh Dekat, dengan contact person ustad
Abdi (bukan nama sebenarnya). Komunikasi kami dengan ustad Abdi di awal
sangat baik, rasanya seluruh permintaan kami bisa diakomodir. Ada 'penguat' lainnya yaitu gelar Lc di belakang namanya, begitu juga dengan orang tua dan keluarganya yang bisa dibilang
tokoh agama terkenal di kota dimana keluarga saya tinggal dan sudah lama membimbing ibadah haji dan umroh.
Kami dijelaskan mengenai banyak hal, termasuk tentang Jauh Dekat
yang statusnya adalah yayasan yang kini tidak bisa memberangkatkan secara
mandiri. “Sebetulnya yang sudah-sudah kami memberangkatkan sendiri… Cuma
sekarang supaya lebih ringkas, kami melakukan yang namanya konsorsium bu, jadi
bergabung dengan biro travel lain yang sudah menjadi rekanan kami… Saya
kerjasama dengan kawan baik saya, dengan biro travel bernama Bunga Merah, di
Jakarta Timur…”. Kira-kira begitu penjelasannya.
Saat itu kami bertemu di sebuah mall di dekat rumah. Cara
bicaranya sangat meyakinkan. Well, sebetulnya dari awal saya merasa: deuh ribet
bener sih nih orang cara bicaranya. Tapi saya nggak komen, karena sekali lagi:
doi berasal dari keluarga yang sudah puluhan tahun mengajar agama dan
memberangkatkan orang ke Tanah Suci, dan ibu saya yakin sama dia. Sampai
akhirnya… okelah akhirnya kami mau gabung, dengan biaya per orang Rp 21.500.000 paket ber-empat. Pertemuan awal kami sekitar H-2 bulan 'tanggal keberangkatan'.
Selang sehari, ayah saya ketemuan dengan pak Abdi di sebuah bank
pemerintah untuk bayar DP. Dari DP yang diajukan Rp 8.000.000 per orang, lalu
naik menjadi Rp 10.000.000 per orang. Keesokan harinya giliran saya yang
mengurus tambahan nama di paspor dan ternyata membutuhkan surat pernyataan akan
berangkat umroh. Saya langsung telepon
pak Abdi. Katanya dia lagi di Grogol, dan tidak di Bekasi. Tapi surat
keterangan akan diusahakan jadi siang ini.
Ini dramatis sekali…. Saya puluhan kali teleponan di hari itu.
Dari yang lagi di Bogor… lalu jalanan macet… laptopnya dia bawa jadi staffnya
nggak bisa bikin… printernya rusak… sampai cap nya yang kebawa sekertarisnya
dan sedang pergi anter ibu pak Abdi berobat di rumah sakit di Jakarta. Padahal katanya dia mengelola yayasan yang terpercaya, masa soal ngeprint aja sampe doi si kepala yayasan yang ke warnet?! Edan,
sama sekali nggak professional. Tapi saya simpan ketidaknyamanan ini sendiri, karena kasihan
juga orang tua saya kalau tahu dan kepikiran. Mungkin memang sayanya aja yang
lagi nggak hoki.
Sehari kemudian…. Keribetan datang lagi. Tiba-tiba dia ngabarin
kalau perjalanan kemungkinan diundur 1 hari, dan jumlah harinya dikurangi jadi
11 hari. Sayapun bereaksi. Saya tekankan
jika saya dan keluarga membayar untuk apapun yang sudah dijanjikan dan
disepakati dari awal. Jangan ditanya berapa lama kami berulang-ulang telfonan, berapa pulsa yang sudah saya habiskan, dan berapa kali degup jantung saya menjadi lebih cepat karena khawatir dan curiga.
FYI, pak Abdi ini punya cara bicara yang berputar-putar dan cepat.
Saya sih puyeng ya lama-lama dengerin dia. Ibaratnya kalo dari Semanggi mau ke
Sudirman, dia lewat Kebon Jeruk dulu.
Akhirnya saya menghubungi biro travel Bunga Merah yang katanya
adalah rekan pak Abdi dalam melakukan konsorsium. Saya tanya via email, apakah
ada keberangkatan sesuai tanggal yang dijanjikan ke saya? Dan apakah ada
hubungan/rekanan dengan pak Abdi dari KBIH Jauh Dekat? Jawabannya: TIDAK ADA.
Jeleger….. 40 juta sudah disetorkan lho…. *lalu tambah pusing*
Saya langsung sampaikan ke pak Abdi kalau saya dapat kabar seperti
itu. Responnya: “Astagfirullah, gimana sih itu… Mungkin dia gak paham bu,
karena saya komunikasi dengan pemiliknya….”. Sayapun menekankan kembali jika
ini adalah amanah. Jangan bebankan orang tua saya dengan perubahan-perubahan
mendadak dan sepihak, melenceng dari yang dijanjikan.
Selanjutannya: Dia bilang kalau dia mengganti rekanan. Kini
namanya biro Travel Jalan Dunia. “Bisa dicek bu, ini travel lama, berizin,
berpengalaman, website nya bagus. Kalau ada apa-apa tinggal diproses ke
Kemenag”, jelas pak Abdi. (Saya jadi ingat saat dia mention kembali tentang website Jalan Dunia yang sangat bagus dan informatif, menurut dia. Saya jawab: Yahh itu mah template standar website Pak, kontennya juga nggak lengkap-lengkap amat kok).
Waktu berganti, jadwal Umroh semakin dekat. Boro-boro detil keberangkatan, perlengkapan aja
kami belum diberikan. Seiring waktu, saya jadi paham hobi pak Abdi: mengulur
waktu, kasih estimasi waktu, tapi dilanggar sendiri. “Saya kasih kabar kalau
nggak malam ini, besok siang sudah ada bu…”. Kemudian pas sudah besok sore:
“ini katanya ada masalah di mereka, perlengkapan habis…” atau “iya bu, segera
saya kejar pihak travel. Secepatnya saya kabari, maksimal sore ini”. Pas udah
waktunya, boro-boro ada kabar. Kalo kita sentil sedikit dengan pertanyaan
“Gimana pak?”, responnya dijamin seperti petasan korek. Ngomong ngalor ngidul
dan cepat, seakan mendesak kami agar mengerti dan tidak menyela.
2 hal yang menggelitik saya, saat saya meminta itinerary dan saat
saya tanya terus mengenai flight. Itinerary baru dikirim 3 hari setelah diminta. "Ibu pasti jadi berangkat tanggal 7, apalagi saya sudah berani mengeluarkan itinerary", katanya. Tentu saja saya nggak puas, laaahhh itinerary doang brooooo…. Googling 15 menit
juga jadi. Begitu juga dengan ‘akhirnya’ dia memberikan update tentang flight. (Katanya) kami akan naik Oman Air dengan nomor flight sekian sekian. Hanya itu. Yah pak,
nomor flight mah tinggal buka website juga bisa! Itu jelas bukan bukti kuat
keberangkatan. Setelahnya dia mengupdate kami dengan 'kabar baik', karena tidak jadi naik Oman Air, namun berangkat dengan Flynas/Etihad/Emirates (saya agak lupa) dan pulang dengan Garuda Indonesia.
Makin kesini saya mikir: kok bisa dia berharap saya akan lebih kalem setelah dikasih itinerary dan nomor flight? Itu kan belum jadi bukti data yang valid!
Rasanya kami sudah menyadari kekeliruan kami dalam persiapan umroh ini, namun rasanya kok kami sudah setengah jalan
dan waktu berangkat semakin dekat…Well, kami memang tidak pernah memegang
brosur. Tidak ada surat keterangan dari travel rekanan.
Tidak pernah berkomunikasi apapun dengan orang lain selain pak Abdi. Bahkan: tidak ada bukti pembayaran yang
pantas. Kami hanya diberikan kuitansi seadanya untuk transaksi 40 juta!
Berulang kali saya tanya: bukti apa yang bisa menjadi pegangan untuk saya kalau
kita akan berangkat? Ini transaksi besar, tidak bisa kalau hanya modal ‘percaya
dan yakin akan berangkat’. Sementara dia sering meyakinkan saya dengan: kalau Travel ini nakal, bisa langsung dilaporkan, bu!. Yah terus apa bisa ngelapor kalau nggak punya bukti valid?.
Surprisingly, dia bingung. “Jujur saya sangat jarang, bahkan bisa
dibilang saya belum pernah membuat seperti itu. Biasanya yang kami tangani
adalah jamaah loyal, ibu-ibu majelis taklim yang sudah sangat mengenal kami, jadi percaya penuh ke kami”. Gigi
lu, terus kalo lo kabur, gue ga megang bukti apa-apa gitu? Akhirnya sayalah
yang membuat surat keterangan bermaterai tentang pembayaran DP Rp 40.000.000
itu. Saya lho yang bikin dan siapin materainya!
Di depan orang tua, saya berusaha tidak menunjukkan emosi dan rasa
gregetan saya. Saya pengennya galau, gundah dan kesal hanya saja aja yang
ngerasain. Kasian orang tua saya kalau turut merasakan hal yang sama. Tapi
ternyata ibu saya juga punya feeling yang sama. Sayapun ‘mengakui’ segala
perasaan dan kegundahan yang saya simpan. Ibu saya saat itu lebih kurus badannya, karena faktor psikis akhirnya tidak nafsu makan. Terbeban menjadi korban 'PHP' dari seorang guru agama yang ia hormati, dan juga nominal 40 juta yang sudah diberikan. Akhirnya suatu sore kami berdua pergi
ke kantor pak Abdi, dan ibu saya mencetuskan kalimat yang saya pikir sudah
‘pantang’ diucap saat keberangkatan tinggal 3 minggu lagi: Kalau memang terus
menerus ribet seperti ini, kami mundur saja. Dan mohon uang dikembalikan dengan
pantas.
6 hari setelah pertemuan itu adalah hari-hari yang sangat kelabu.
Hati nggak karuan, nggak fokus ngapa-ngapain, hati berat sekali. Rasanya geram
karena kok bisaa kami ‘nyebur’ ke hal-hal seperti ini, dan merasa seperti bodoh
sekali ya diperlakukan seperti ini. Dan satu hal yang sangaaat membebani kami:
bagaimana bicara ke bapak saya. Saya khawatir beliau emosi dan bisa
mempengaruhi kesehatan.
Bahkan suatu sore, saya dan ibu saya menjenguk ibu dari pak Abdi, yang merupakan guru ngaji ibu saya. Selain bersilaturahmi, tujuan kami adalah untuk 'menunjukkan' pada pak Abdi jika kami, korban janji kosongnya, mengenal keluarganya dengan cukup baik. Kami tidak bilang kalau kami menjenguk ibunya, namun setelah momen ini, pak Abdi terasa lebih hati-hati berbicara dengan kami.
Bahkan suatu sore, saya dan ibu saya menjenguk ibu dari pak Abdi, yang merupakan guru ngaji ibu saya. Selain bersilaturahmi, tujuan kami adalah untuk 'menunjukkan' pada pak Abdi jika kami, korban janji kosongnya, mengenal keluarganya dengan cukup baik. Kami tidak bilang kalau kami menjenguk ibunya, namun setelah momen ini, pak Abdi terasa lebih hati-hati berbicara dengan kami.
Suatu siang, pak Abdi kirim foto, katanya koper sudah diterima. Ia juga mengirim surat keterangan perjalanan umroh dari biro travel. Sayapun buka website biro travel Jalan Dunia. Foto koper yang diberikan sama
sekali tidak ada kemiripan dengan Jalan Dunia, baik warna dan logo corporate, serta
ukuran, bentuk dan detil. Akhirnya saya telepon kantor Jalan Dunia, dan
tersambung dengan direkturnya, pak Kadir. Telepon ini adalah ‘gong’ nya….
Pak Kadir tidak punya hubungan kerjasama apapun dengan Pak Abdi
dari Yayasan Jauh Dekat. Dan tidak ada keberangkatan di tanggal yang dijanjikan
ke saya. “Kalau memang dia menggunakan nama tersebut, saya juga perlu cari tahu
karena nama travel Jalan Dunia sudah dipatenkan. Ini bisa ke arah hukum
juga….”. Sayapun telepon dan cerita panjaaang lebar tentang riwayat proses
perjalanan saya. Beliau nggak komentar terlalu jauh, tapi menyatakan memang
yang saya alami ini ‘tidak wajar’ untuk standar keberangkatan Umroh. Kamipun bertukar nomor HP, dan juga pak Kadir
saya berikan nomor pak Abdi.
Gak lama setelah melakukan cross-check, pak Kadir whatsapp saya: Pak Abdi menggunakan rekanan
bernama: Jalan Dunia Rezeki di Bandung. Dulunya, ini memang bagian dari Jalan Dunia untuk cabang
Bandung. Karena si Bandung ini bermasalah, maka kerjasama diputus dan si Bandung merubah
namanya menjadi ‘Jalan Dunia Rezeki’. Putusnya kerjasama ini sekaligus membuat
si Bandung tidak punya izin resmi lagi.
Well… Pak Abdi nggak tahu hal ini, dan ‘mendinginkan’ saya dengan
alasan: Mereka masih dibawah 1 perizinan. Sebelumnya saya sudah mencecar
tentang nomor izin.
Saya kasih screen shot whatsapp pak Kadir yang bilang kalau Jalan
Dunia dan Jalan Dunia Rezeki sudah tidak satu bendera dan tidak satu izin lagi.
Balasan pak Abdi: Namanya persaingan di bidang travel umroh, bu. Namanya menjelekkan itu biasa terjadi.
Tanggapan saya: Nah di kop surat keterangan dari Jalan Dunia
Rezeki yang bapak foto ada nomor izin Kemenag yang berbeda dengan nomor Jalan
Dunia. Kalau saya cek nomornya, itu bukan punya Jalan Dunia Rezeki, tapi punya
nya travel XXXX di kawasan Jatinegara. Jadi gimana nih pak, saya pakai jasa
bapak, bapak kasih lagi ke Jalan Dunia Rezeki, lalu Jalan Dunia Rezeki izinnya
numpang sama travel XXXX.
Luar biasa sekali 'Pak ustadz' ini.
Luar biasa sekali 'Pak ustadz' ini.
Di sini, saya udah nyerocoooooos terus. Sudah secara
terang-terangan menyatakan kekecewaan, jujur sampai ke akar-akarnya. Dan dia
masih terus berusaha meyakinkan saya. Sampai akhirnya saya mengeluarkan
kalimat: Saya tolong informasi pembatalan keberangkatan ya. Konsekuensinya
tolong diinformasikan. Pak Abdipun sepertinya sudah kehabisan akal bagaimana
lagi meyakinkan saya. Diapun menyudahi argumennya.
Sampai di rumah, ada 1 lagi PR besar saya: menyampaikan ke bapak
saya. Saya takuuuut sekali. Tapi Allah Maha Berkehendak. Momen menjelaskan dan menceritakan kalau kita ‘dipermainkan’ ini
berjalan lancar, ayah saya tidak emosional dan menghargai keputusan kami untuk
membatalkan.
Tugas selanjutnya: menemui pak Abdi di rumah orang tuanya, tepat 2 minggu sebelum keberangkatan. Pak
Abdi masiiiiiih berusaha menjelaskan dan membesarkan hati kami. Saya dan bapak
saya cukup terbawa cara bicara pak guru agama ini, saat dia menyatakan:
“Ditunggu lagi 2 hari ya bu, saya janji ini yang terakhir. Kalau masih belum
ada kabar, silahkan kalau mau batal….”, dan ngomong mutar muter ke kiri dan kanan. Syukurlah ibu saya ‘menetralisir’ kami dengan
mengembalikan kami pada tujuan awal: mau batal aja! DEG! Di sini saya seakan
‘balik’ lagi dan berenergi untuk membalikkan kata-kata pak Abdi yang banyak
tidak masuk akal.
Dan akhirnya benar-benar batal. Pak Abdi berjanji mau mengembalikan
paspor, buku kuning, dan yang terpenting: uang Rp 40.000.000 utuh. Itupun sudah
kami catatkan pada kertas bermaterai.
Mengembalikan paspor: Janji 1 hari sudah ada. Prakteknya 4 hari
kemudian (setelah dihubungi dan ditagih berulang kali).
Mengembalikan uang utuh: Janji maksimal dalam 10 hari
dikembalikan, bahkan tertulis pada surat bermaterai. Nyatanya baru dikembalikan
hari ke 11 malam senilai Rp 30.000.000. Sisanya baru diselesaikan hingga 2
minggu kemudian. Sampai titik ini, beliau tetap konsisten dengan: tar-sok atau
entar-besok, alasan berbelit-belit, bahkan berdusta kalau uang sudah ditransfer
(padahal dicek sampai H+2 hari masih belum ada uang masuk).
Well, 'Pak Ustad' ini tidak 'bermain cantik'. 'Pak Ustad' ini tidak punya akhlak seperti Ustad. Hal lain yang membuat kami berani bertindak adalah karena Ibu saya cukup mengenal keluarga dan lingkungannya, sehingga kami bisa merancang Plan B dan Plan C kalau-kalau orang ini berulah (lagi).
FYI, pada suatu hari (yang mana seharusnya dia sudah 'berangkat' untuk 'mengawal' jamaahnya), ibu saya malah bertemu di suatu acara. Padahal sebelumnya dia bilang saat pembatalan: saya tetap akan berangkat walaupun keluarga ibu batal. Tapi kami tidak mempertanyakan hal ini, karena urusan kami dengan dia sudah selesai.
Well, 'Pak Ustad' ini tidak 'bermain cantik'. 'Pak Ustad' ini tidak punya akhlak seperti Ustad. Hal lain yang membuat kami berani bertindak adalah karena Ibu saya cukup mengenal keluarga dan lingkungannya, sehingga kami bisa merancang Plan B dan Plan C kalau-kalau orang ini berulah (lagi).
FYI, pada suatu hari (yang mana seharusnya dia sudah 'berangkat' untuk 'mengawal' jamaahnya), ibu saya malah bertemu di suatu acara. Padahal sebelumnya dia bilang saat pembatalan: saya tetap akan berangkat walaupun keluarga ibu batal. Tapi kami tidak mempertanyakan hal ini, karena urusan kami dengan dia sudah selesai.
Banyak sekali, banyaaaakkk sekaliiii lesson learned dari kejadian
di atas. Saya sadar sekali jika banyak juga kesalahan dari saya. Ini
betul-betul pelajaran untuk keluarga kami untuk lebih teliti, waspada, dan
detil lagi. Semoga praktek titip menitip jamaah, terombang-ambing, betul-betul
dirugikan secara moril, waktu dan perhatian habis, merasa was-was,
mengamanahkan rencana ibadah kepada pihak yang dzolim, tidak lagi dialami oleh
yang lain. Betul-betul harus cari biro perjalanan yang punya nama dan
terpercaya!
Alhamdulillah perjalanan Umroh tetap terlaksana dengan biro
lainnya yang sudah punya nama besar. Surprisingly, tidak sedikit jamaah yang
saya temui mengalami penipuan berkedok Umroh, dan sedihnya, orangnya kabur dan
uangnya raib. Kasusnya sama, yang menangani adalah tokoh agama yang sudah
dikenal, lalu kemudian menghilang dengan uang yang telah disetorkan.
Well, Umroh adalah lahan ‘basah’ yang punya banyak sekali peminat.
Siapa sih umat Muslim yang nggak kepingin ke Tanah Suci? Tapi kita harus ekstra
teliti, karena selain kepercayaan, ada sisi profesionalisme yang harus betul-betul
diperlihatkan. Karena sekali lagi: Umroh adalah bisnis. Jangan pernah ‘membeli’
hanya berbekal ‘percaya’ karena untuk sebagian orang, integritas bisa dikalahkan dengan
segepok rupiah.
4 comments