Wisata malam naik ke atas
Monas bisa jadi pilihan lho. Terutama buat om tante yang kerja di kawasan
Jakarta Pusat, dan bosan dengan hingar bingar Jakarta yang itu-itu melulu.
Hayuks kita jalan-jalan naik ke Monas, iconnya kota Jakarta! Biar gak malu
gituuu, kerja deket Monas tapi nggak begitu kenal dengan isinya *ih ini sih saya
sendiri hahaha*.
Sekali-kalinya naik Monas, mungkin itu saat saya SD. Rasanya wow banget bisa lihat kota Jakarta dari ketinggian. Kemudian saat baru lulus kuliah sekitar tahun 2010, sempat mencoba untuk naik ke Monas. Sudah beli tiket. Baju sudah lepek penuh keringat. Jadi naik? Enggak om, antriannya bikin pengen pingsan! Hahahaha. Selanjutnya kalau ke Monas, ya olahraga, ngemil, naik kuda, foto dan lainnya, kecuali naik ke atas.
Naah, sudah pada tahu kalau
puncak Monas kini buka sampai malam? Biar nggak penasaran aja kan shaaay, saya
berkantor di dekat Monas, masa iya nggak paham Monas. Kan nggak lucu kalau bisa
fasih menceritakan icon negara tetangga, tapi gak paham punya kota sendiri.
*walopun akuh adalah anak Bekasi, kakak….
Jam buka untuk naik ke atas
Monas untuk siang hari adalah 08.00 – 16.00. Kemudian buka kembali jam 18.00 –
00.00. Ini berlaku untuk hari Selasa hingga Minggu, karena setiap hari Senin
libur. Kabarnya, tiket yang dijual terbatas. Untuk tiket 2 orang pada Jumat malam, saya membayar Rp 40.000 (sudah termasuk
kartu jakCard, dan saldo Rp 10.000 yang bisa dipakai di tempat wisata di
Jakarta dan naik Transjakarta). Diberlakukan tiket terusan yang terdiri dari
biaya ke cawan/pelataran bawah Monas, dan juga naik ke atas. Untuk museum dan
diorama nya harateys!
Ini rincian harga tiket naik Monas:
Anak-anak/pelajar: Rp 4.000 (pelataran Rp 2.000, ke atas Rp 2.000)
Mahasiswa: Rp 8.000 (pelataran Rp 3.000, ke atas Rp 5.000)
Dewasa/umum: Rp 15.000 (pelataran Rp 5.000, ke atas Rp 10.000)
Saya dan Af ke Monas pada
hari Jumat sepulang kerja, jalan kaki dari Tugu Tani. Dengan pede sepenuh hati,
berniat masuk dari pintu sebelah Gambir. Ternyata tutup! Akhirnya putar haluan
untuk masuk dari pintu IRTI. *Tau gitu naik bajaj atau 502 aja kan yeee* Yang
saya lihat, pintu sebelah Gambir dan depan patung kuda Indosat ditutup. Entah
memang ditutup atau khusus di hari kerja aja, tapi menurut saya sekarang kalau
ke Monas jadi lebih lelah dan lebih banyak jalan, ya. *faktor usia kali kak…
hahaha. Maklumin aja yak, sebelum ke Monas habis yoga di kantor, lanjut jalan
kaki sampai IRTI, terus jalan masuk Monas, betispun semakin kencang!
Foto: https://www.la-streetball.com
Ketika sudah keluar area IRTI, kami langsung antri kereta odong-odong (ada pagar antriannya). Kereta ini akan mengantarkan kami ke depan pintu masuk Monumen Nasional. Pintu masuk bawah tanah ini persis di area Patung Kuda, selurusan dengan Istana Presiden. Kalau di peak season, keretanya juga pake antri... Syukurlah kita nggak pake antri segala. Kalau keretanya belum ada, sabar aja ditunggu. Karena kereta ini akan mengantarkan kita sampai ke depan pintu saja, masih banyak jalan kaki lagi setelah turun kereta nanti. #GerakanSayangBetis
Begitu turun kereta,
langsung ada pemeriksaan tas oleh pria berseragam. Periksanya cukup detil,
nggak seperti security di mall yang periksa seadanya. Kemudian kami tiba di
bawah tanah dan membeli tiket. Selanjutnya masuk ke lorong, naik tangga, turun
lagi, jalan lagi, hingga akhirnya tiba di Museum Sejarah Nasional. Kami yang
udah gobyos keringetan merasa seperti bertemu kipas angin Maspion karena sezuk dan adem. Tapi mengingat ini sudah malam, kamipun nggak lihat-lihat museum dan
diorama, langsung ke pelataran dan antri lift.
Lorong dan pintu masuk bawah tanah. Jangan sedih kak, perjalanan masih panjang!
Lift nya hanya ada 1, dengan
kapasitas 11 orang termasuk operator. Antriannya masih wajar, saat itu di Jumat malam waktu tunggu nya sekitar 20 menit. Saya nggak kebayang kalau weekend dan siang hari,
antrian dan panasnya bakal kayak apa yaaa… Oh iya, jangan lupa untuk meletakkan
kartu JakCard di tempat yang mudah diraih, karena ada beberapa kali
pemeriksaan. Sebelum naik lift diperiksa lagi. Untungnya sistem di Monas sudah
rapi, jadi antriannya teratur nggak bejubel naik.
Denger-denger, lift Monas
serem dan sudah berumur. Tapi kesan itu nggak saya dapatkan. Di dalamnya ada
operator, dan perpindahan dari bawah ke atas terasa smooth, nggak berasa.
Iyaaa, memang lift nya agak sempit siiih, hehe. Namun saat turun, saya berasa
agak puyeng. Hihihi.
Sampai di atas? Rasanya
nggak beda dengan naik ke gedung tinggi di Jakarta, melihat city night view
dari atas. Tidak ada tempat duduk, hanya melihat berdiri dari balik pagar. Di
bagian atas ada foto gedung di seputaran area Monas. Sayangnya nggak diberi
keterangan nama, cuma nomer aja. Di setiap sudut juga ada teropong, saya sempet
coba pakai. Saya sempet minta fotoin dan komen “ih teropongnya burem banget,
nggak keliatan apa-apa!”. Dan ternyata emang itu teropong harus pake koin dulu
choy, baru bisa dipake. Hahahaha.
Suasana di atas Monas.
Antrian lift turun
Ketemu Raka dan kakaknya saat antri naik Monas.
Raka yang baru datang dari Kalimantan excited sekali naik Monas, dan sempat berseru
"kita mau naik ke Monas kan ya a'..." sambil tangannya menunjuk ke atas.
"kita mau naik ke Monas kan ya a'..." sambil tangannya menunjuk ke atas.
Sebelum turun, saya sempat menemui Raka lagi. Raka bilang "Monas begini doang yah a'...". Hehehehe... Ternyata perasaan kita sama...
Setelah bertahan di sana kurang
lebih 10 menit sazah, hehehe, saya dan si abang turun lagi. Menurut saya, ini
menurut saya lho yaaaaa, di atas cenderung monoton, tidak ada hal baru yang
membuat orang menjadi lebih terhibur. Tapi kesan ini bisa saja berbeda dengan
orang lain yaaa. Sepertinya kalau datang dari sore dan lari-lari cancik dulu,
kemudian duduk istirahat, nonton air mancur 3D, baru deh naik Monas, pasti lebih nikmat!
Komentar