Drama GTM Berkepanjangan, Lip Tie dan Tongue Tie
Anak gak mau makan. Beberapa kali sejak Jazea mulai MPASI, saya pingin banget nulis pengalaman ini. Tapi maju mundur, belum yakin apakah akan menjadi postingan yang isinya curhat tanpa solusi atau beneran bisa bermanfaat, hehe. Ceritanya cukup membuat saya emosional, ya emang siapa sih emak-emak yang nggak mellow ngeliat anaknya susahhh makan ya kaaan.
Sejak lahir, saya dan suami bisa
dibilang sering kontrol ke Dokter Spesialis Anak (DSA). Kunjungan rutin ini
biasanya karena jadwal vaksin dan sekaligus dipantau tumbuh kembangnya. Saya
juga termasuk yang rajin cari tahu seputar info tumbuh kembang bayi. Jika ada
kendala atau kondisi tertentu, biasanya langsung browsing, cari di Youtube,
atau tanya kenalan sambil tentu saja: mengikuti insting. Hehe. Istilahnya mah, pingin menerapkan mindful parenting, kitu ceu.... Alhamdulillah hingga kini Jazea tumbuh ceria dan cerdas. Perkembangannya sesuai usia, rasanya setiap hari ada aja hal yang bikin kita terkejut dan happy :)
Dari awal MPASI juga saya sudah semangat mengenalkan beragam makanan, dari yang minim bumbu sampai yang rempahnya melimpah, asin gurih dan manis, mengikuti komposisi menu lengkap (protein, karbohidrat, lemak). Saya cukup hobi masak (eh kalo masak tuh hobi atau kewajiban sih? Haha) dan hampir setiap hari saya uplek-uplek di dapur, mencoba bikin apa aja yang mungkin akan disukai Jazea. Dan tentu saja bubur fortifikasi aneka rasa juga saya coba berikan.
Hmm... hasilnya gimane bu? Wahhh…
rata-rata anaknya mingkem. Memang nggak SELALU menolak makan, tapi rasanya dari setiap menu yang saya sodorkan, yang dimakan sebagian kecil aja. Jauh dari jumlah kuantitas makanan yang dianjurkan dokter anak sesuai usianya. Padahal sayapun sudah mulai dengan porsi kecil, tapi rata-rata bersisa banyak.
Hingga usia 7 bulan dan bertepatan dengan jadwal vaksin, Jazea kami bawa ke dokter A. Dokter melihat berat badan dari usia 5-7 bulan sedikit kenaikannya. Sayapun mengeluhkan susahnya Jazea makan MPASI. Saran dokter A: jangan takut berkreasi soal masakan ya bu. Pake yang enak-enak seperti butter, olive oil, dan bikin aneka olahan protein misalnya perkedel.
Sebenarnya saran Dokter
sudah saya dapat dari sejak memulai MPASI. Soal pilihan
menu, perkedel, egg roll, nasi uduk, opor ayam, mashed potato, telur rebus,
telur dadar, hati diungkep, hati dibuat bubur, semua udaaaah sampe jadinya saya yang makan ati. hahaha. Seperti biasa, kalau pulang dari DSA tuh saya seperti mendapat suntikan semangat untuk terus mencoba. Jadi saya coba teruuuss supaya Jazea mau makan.
Masuk usia 11 bulan, tentunya bertepatan
dengan jadwal vaksin lanjutan, saya pindah dokter. Kali ini ke Dokter B, dokter
muda yang cukup hits di Bekasi. Lagi-lagi saya mengeluhkan (ya mumpung ketemu ahlinya, jadi kita ngeluh mulu yakan): gimana
lagi ya Dok, anak saya tetap nggak mau makan. Segala feeding rules selalu saya upayakan.
Duduk di kursi makan, tanpa TV tanpa gadget, durasi makan maksimal 30 menit, makan
bersama-sama orang dewasa, dan tentunyaaaaa menu yang variatif. Sudah masak
segala rupa, naik turun tekstur, suasana makan selalu dibuat menyenangkan tanpa
paksaan, tapi seringkali berakhir saya patah hati karena makanannya dicuekin, rumah
berantakan karena makan dilempar atau isi piringnya dibuang. Sounds familiar, buibuuu? hehehe.
Sebelum mencoba makanan, Jazea cenderung menepis sendok yang diarahkan ke mulutnya ataupun buang muka. Jadi masalahnya bukan dilepeh, dikemut, tapi buka mulut dan mendaratkan sendok di mulut aja rasanya susah. Duh rasanya pingin tebalikin meja cuuy, sedih!
Dokter B kemudian menyarankan saya dan suami untuk rajin mencatat menu dan porsi makan Jazea selama sebulan. Diperhatikan kira-kira menu apa yang disukai dan mau dimakan dalam jumlah banyak. Pada kunjungan tersebut, Dokter B sempat menemukan indikasi tongue tie. “tapi sedikit Bu, ga harus dipotong, cukup latihan aja dirumah. Ga usah khawatir ya. Nanti Ibu Whatsapp saya duluan, saya kirimin video latihannya ya”, kata dokter B.
Pertemuan kedua dengan dokter B, saya pulang dengan perasaan “Udah mau 6 bulan saya kasih MPASI dokkk, serius ga ada yang salah dengan anak saya?”.
Minggu-minggu awal, saya dan
suami rajin banget catetin menu makan dan snack Jazea. Kita sampai bikin Google
Sheet sendiri supaya bisa saling update. Tapi akhirnya… nyerah bos. Yang
ditulis gitu-gitu aja: porsi makan 1-1,5 sendok makan, itu juga bubur
fortifikasi atau yang lebih parah: bubur bayi pinggir jalan (yang beli 5 ribu
rupiah semangkok hikz! Gizi anakku kupertaruhkannnn). Masakan saya lagi-lagi
nggak laku. Anak saya cuma lancar kalau makan: kerupuk!
Gimana perasaan Anda, Sistur? Aduh… ini namanya patah hati sesungguhnya. Anak nggak mau makan. Saya sudah sering banget dapet informasi kebutuhan gizi bayi di 1000 hari pertama kehidupan yang sangat penting buat otak, IQ, tumbuh dan kembangnya. Dan di waktu yang sama, anak saya nih kurang banget makannya, baik dalam segi kuantitas dan kualitasnya. Berat badan, meskipun masih masuk dalam garis hijau tapi kenaikannya minim banget.
Saya agak membatasi sharing soal GTM anak ini karena cukup sensitif buat saya, rasanya males dikomenin orang. Seringkali reaksi orang tentang anak sulit makan:
1. Ah, anak nggak mau makan tuh biasa… Dulu anak/cucu/saudara saya juga gitu…
2. Ah, anaknya tetap aktif kok, nggak usah khawatir…
3. Anaknya masih ASI kan? Ibunya aja makannya dibagusin, nanti nutrisi anaknya dari ASI…
4. Biarin aja kalo nggak mau makan, nanti kalo laper juga bakal minta. Itu anak saya juga gitu makannya susah, tumbuh gede juga tuh sekarang!
Komentar saya buuu:
1. Saya nggak mau menormalkan apa yang tidak normal. Anak saya butuh makanan yang baik, layak dan cukup di 1000 hari pertamanya
2. Ya aktif.. Alaminya bayi kan memang bergerak aktif bukaaan?
3. Makin besar, porsi kebutuhan ASI semakin menurun, berganti ke MPASI untuk nutrisinya
4. Iya kalo anaknya minta makan. Kalo tetep cuek aja terus dehidrasi gimanaa? Lagian selain bertumbuh, manusia juga kan butuh berkembang. Kalo tumbuh tapi otaknya ga dikasih nutrisi cukup gimanaa?
Momen mengolah dan menyiapkan MPASI menjadi cukup sentimental. Hati saya penuh doa, semoga Jazea mau makan ini, semoga makanan ini berkah, semoga apa yang masuk mulutnya menjadi manfaat. Begitu nyuapin dan anaknya nolak…. Ambyar deh. Oper ke Ayahnya ajalah biar saya tetap waras hehe. Alhamdulillah ini hikmah pandemi, saya dan suami bisa full mengurus dan mengawasi tumbuh kembang Jazea dirumah.
Sampai rasanya iseng nurutin saran
jaman dulu dari mama saya: di hari Jumat, Ayahnya pergi sholat Jumat sambil membawa
daun sirih. Sesampainya dirumah, daun sirih dipaparkan ke lidah anak sambil
berdoa. Ngaruh ngga? Ya nggak. Hehhee. Ada juga keisengan saya yang lain: Jazea
minum jamu! Temulawak, kunyit, kencur, sereh, pandan dan madu yang disajikan
dingin. Enak kok, rasanya kayak minum es teh pandan, dan Jazea juga mau aja.
Tapi insting saya berkata “jangan dilanjut cuy, elu aja nggak yakin ini bener
apa nggak. Jangan main-main lah sama anak”. Okeh akhirnya saya yang ngabisin jamunya. Hehe. (plot twist: malah saya yang makin nafsu makan hahaha canda).
Nah bulan Februari ini, usia Jazea 15 bulan, ada PR vaksin lagi nih. Apakah balik lagi ke dokter A atau B? Tidak, Maemunah. Akhirnya saya iseng daftar di BWCC (Bintaro Women Children Clinic) yang baru buka cabang di Bekasi, tepatnya di Galaxy. Saya cap cip cup daftar ke Dr. Rinda Riswandi, Sp.A., dengan harapan “siapa tau cocok yaa”. Sampai dalam hati saya mikir “kalau nantinya akan diceramahi lagi soal menu makanan seperti di dokter-dokter sebelumnya… yasudahlah. Toh niat utamanya mau vaksin”.
Kebetulan hari itu saya punya keluhan yaitu puting sebelah kanan sakit sekali. Sudah sekitar 2 minggu tidak saya gunakan menyusui langsung karena luka dan sangat sakit rasanya, digantikan dengan rutin pompa asi. Selama PD kanan sakit, Jazea saya susui dari payudara kiri.
Sebetulnya drama puting sakit nih nggak sekali dua kali saya rasakan, kayaknya udah langganan deh. Saya selalu menganggap sakit puting itu bagian dari perjalanan menyusui dan 'biasa' dialami. Jadi hal ini nggak pernah saya ungkap ke dokter. Tapi yang kali ini dirasakan kok sakitnya dahsyat yaa… Ibarat ada luka menganga yang kemudian ditarik dan dicubit terus menerus. Saaaakiiiitttt bangettttt. Sampai saya nangis-nangis, nungging-nungging dan minum obat pereda nyeri.
Hal ini saya ceritakan ke dokter Rinda, plus drama MPASI Jazea yang tidak berkesudahan. Alhamdulillah Dr. Rinda detil sekali melakukan screening tumbuh kembang Jazea dan memperhatikan riwayat berat badannya dari aplikasi PrimaKu yang rutin kami catat. Alhamdulillahnya lagiiii…. Dr Rinda sepertinya paham perjuangan saya sehingga tidak ada advis mengenai “menu makannya variatif dong bu..”. Hehehe. Tapi yang membuatku jleb adalah kata-kata dokter Rinda “1000 hari pertama anak sangat penting, Bu. Yuk dioptimalkan Bu, kita masih punya sisa beberapa bulan lagi untuk diusahakan”.
Nah, saat konsul, Dr. Rinda menemukan adanya lip tie dan tongue tie di mulut Jazea dan kondisinya cukup mengikat. Dr. Rinda langsung menyarankan untuk insisi atau dipotong. Saya dan suami langsung setuju, demi kesehatan anak kaan. Kamipun janjian untuk datang 1 minggu lagi ke BWCC Bekasi untuk tindakan frenotomi tongue tie dan lip tie Jazea.
Dalam 1 minggu itu saya cari tahu mengenai lip tie dan tongue tie. Lip tie adalah selaput yang menghubungkan bibir atas dan bawah ke bagian gusi. Sedangkan tongue tie adalah garis selaput dibawah lidah. Coba deh raba bagian dalam mulut dan bawah lidah, semua orang pasti punya. Tapi beberapa orang terlahir dengan selaput/garis yang lebih panjang mengikat sehingga membatasi gerak lidah dan mulut, membuat lidah lebih kaku dan fungsi organ mulut tidak maksimal.
Rasanya semacam: where have you been? Kemane
aje lu Munaroh? Kok anaknya lip tie dan tongue tie sampai lidahnya kaku gitu
nggak ketahuan? Dan selama ini rutin ke dokter anak… kok bisa sampai nggak terdeteksi?
Saya sudah tahu dengan istilah TT dan LT ini, tapi denial karena “ah dokter
anaknya aja nggak ngomong ada LT dan TT, berarti emang enggak”. Terus baru usia
15 bulan aja gitu ketahuan, padahal seharusnya saat baru lahirpun sudah bisa terdeteksi.
Saya dan suami nggak perlu waktu panjang untuk mikirin apakah perlu insisi apa nggak, karena itu salah satu penyebab yang sangat mungkin kenapa Jazea nggak mau makan: lidahnya kaku. Mulutnya pegel kalo dipake ngunyah, jadi bete duluan kalau disodori makanan. Dijelaskan dokter Rinda juga, efek LT dan TT ini bisa kemana-mana:
1. Anak nggak mau makan --> pengaruh ke nutrisi, yang mana efeknya ke tumbuh kembangnya
2. Perlekatan saat menyusui tidak optimal --> asi yang keluar tidak maksimal, menyusui menjadi nyeri, dan puting saya bolak balik luka bahkan hingga demam
3. Kemampuan bicara juga bisa terhambat
Sayapun cari-cari referensi mengenai efek LT dan TT lebih lanjut. Nggak cuma risiko cadel dan sulit mengucapkan beberapa huruf, tapi juga ada yang sharing kalau LT dan TT membuatnya tumbuh dewasa dengan kurang rasa percaya diri. Kenapa tuh? Karena kalo ngomong jadi suka nyiprat! Waduuuh. Setelah diingat, iya juga ya saya punya beberapa teman yang seperti itu. Ada juga yang menyampaikan kalau LT dan TT membuatnya sering banget nyeri leher dan kurang baik dalam mengunyah makanan di mulut.
Hari dimana Jazea akan dilakukan tindakan insisi sangat saya tunggu. Kenapa ceu? Soalnya serasa menemukan secercah harapan untuk nafsu makan Jazea. Hehehe. Saya berdoa teruuus semoga inilah jalan ninja bagi Jazea untuk memperbaiki nutrisinya dan tumbuh jadi anak sehat dan cerdas.
Karena postingan ini sudah cukup panjang… Saya akan cerita soal biaya, teknis pelaksanaan dan kesan-kesan soal insisi lip tie dan tongue tie ini pada postingan selanjutnya yaa. Semoga ada waktu colongan untuk saya bisa ngetik-ngetik panjang gini. Hehehe. Terima kasih sudah membaca, semoga sharing ini ada manfaatnya.
Sumber foto: http://www.raisingchildren.lk/2019/06/27/baby-refusing-eat-heres/
Komentar